Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mendorong otoritas keuangan dan pemerintah membuka akses pembiayaan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui bursa saham UMKM yang aksesibel di lantai bursa agar pembiayaan tidak bertumpu pada dana APBN yang jumlahnya terbatas. Menurut Said, selama ini, bursa saham di Indonesia terlalu bias usaha besar sehingga tidak mengherankan bila pada akhirnya jumlah emiten tidak bertambah signifikan dari tahun ke tahun. Karena itu, lantai bursa keuangan perlu diisi oleh kelompok usaha skala UMKM.

"Otoritas bursa tinggal memastikan kelayakan dan kesehatan usaha, sekaligus prospek bisnisnya," kata Said kepada wartawan, Minggu (2/8/2020). Menurut Said, APBN Tahun 2021 akan menghadapi tantangan yang berat ke depan. Hal ini diperparah situasi ekonomi global berkembang sangat dinamis, penuh dengan ketidakpastian.

Oleh karena itu, fokus penyusunan RAPBN harus diarahkan pada upaya percepatan pemulihan ekonomi dengan melakukan berbagai transformasi struktural yang berkelanjutan. "RAPBN yang disusun kredibel dalam membaca masalah pada tahun 2021. Sebab kekusutan masalah sektor ekonomi akibat covid 19 menjadi tali temali kusut sekaligus pelik. Saya kira, perlu kejernihan pemikiran agar kebijakan yang kita susun pada tahun depan akurat mengurai kusutnya masalah," ucapnya. Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan situasi pandemi covid 19 ini membutuhkan kebijakan extraordinary yang berdampak pada postur APBN 2021.

Sebab APBN 2021 akan menjadi faktor kunci dalam orkestra pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, dia menyarankan agar APBN 2021 fokus pada beberapa hal. Pertama, menjaga kelangsungan program Bantuan Sosial (Bansos) yang beragam. Program ini untuk menjaga daya beli rumah tangga kelompok bawah.

"Kebijakan ini harus ada dengan pembaruan data dan efisiensi penyaluran. Sehingga program Bansos efektif sebagai automatic stabilizer," ucapnya. Kedua, intervensi hulu sampai hilir pada sektor UMKM, khususnya sektor primer dan ekspor, mengingat sumbangsih UMKM pada PDB sebesar 60 persen. "Evaluasi terhadap intervensi sektor UMKM pada tahun ini adalah keterlambatan penyaluran likuiditas. Pembatasan sosial dimulai Per Maret 2020, tetapi penyaluran bantuan likuiditas untuk UMKM melalui penempatan dana pemerintah pada perbankan baru mulai Juli 2020," ujarnya.

Menurutnya, keterlambatan bantuan ini berkonsekuensi menahan laju pemulihan ekonomi. Per Juli 2020 survei ADB, dari 60 juta UMKM sebanyak 48,6 persen diantaranya sudah tutup usaha. Ketiga, mitigasi terhadap seluruh resiko keuangan yang dihadapi oleh BUMN. Sebab kegagalan aksi korporasi BUMN ditahun sulit seperti saat ini, apalagi BUMN strategis akan berkonsekuensi pada penggunaan APBN sebagai "last resort”.

"Secepatnya pula, pada tahun ini seluruh tanggungan pemerintah terhadap BUMN segera di selesaikan, sehingga pertanggungan tidak berefek hingga tahun depan," katanya. Keempat, kebijakan fiskal ekspansif melalui penambahan utang pemerintah pada tahun depan harus mampu dikompensasi dengan peningkatan rasio penerimaan negara, baik pajak maupun non pajak. Untuk itu, berbagai kemudahan dan insentif perpajakan tahun depan harus mulai selektif.

Hanya sektor sektor strategis dan perlu recovery dari dampak covid 19 yang mendapat fasilitas perpajakan. Target penambahan penerimaan pada tahun depan sebagai bukti belanja pemerintah harus punya dampak ekonomi. Salah satu ukuran punya dampak ekonomi adalah bertambahnya basis penerimaan.

Bila rasio utang naik, tapi rasio penerimaan tidak naik dalam beberapa tahun fiskal menandakan belanja pembangunannya tidak produktif. "Kita memaklumi, penerimaan tahun ini, khususnya sektor perpajakan turun. Turunnya perpajakan tahun ini memang kita rencanakan," ujarnya. Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini menegaskan penurunan penerimaan perpajakan tahun ini juga sebagai konsekuensi dari fasilitas perpajakan yang digunakan untuk membantu pelaku usaha.

"Namun capaian rasio pajak kita memang cenderung menurun beberapa tahun ini," ucapnya. Kelima, bauran kebijakan fiskal dan moneter, terutama skema burden sharing pada tahun depan perlu di kembangkan kerjasamanya antara pemerintah dan BI. "BI juga harus lebih antisipastif dalam kebijakan currency, dan devisa, sebab pertumbuhan PDB kita yang signifikan seolah tiada arti bila tergerus oleh selisih kurs yang tajam depresiasinya," kata politikus senior PDI Perjuangan ini.

Keenam, skema partisipasi pembiayaan, khususnya yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) harus mulai melibatkan seluas luasnya rakyat. Hal ini secara perlahan mengurangi proporsi kepemilikan asing untuk mengurangi resiko ekonomi dan politik. "Saya kira, Kementrian Keuangan dan BI sebaiknya lebih agresif mendorong pembelian SBN kita dominan dimiliki rakyat sendiri. Literasi dan kemudahan pembelian SBN perlu difasilitasi," pungkasnya