Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jember melaporkan akun Facebook berinisial MI ke polisi. Laporan itu terkait unggahan akun tersebut yang menghina dan memaki dokter, serta menuding bahwa Covid 19 menjadi ajang bisnis para dokter. Dalam unggahannya, pemilik akun itu menyebut mengeluarkan Rp 650.000 untuk rapid test dan Rp 350.000 untuk ongkos menuju Bali.

Ketua IDI Jember Alfi Yudisianto mengatakan, unggahan itu menyakitkan perasaan para dokter yang berjuang di garis depan. Unggahan tersebut dibaca salah seorang dokter pada Jumat (5/6/2020) siang. "Lalu dokter itu melapor pada kami," kata Alfi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (7/6/2020).

Para pengurus IDI Jember sempat menghubungi akun tersebut untuk meminta klarifikasi. Namun, setelah dihubungi akun Facebook itu hilang. Karena dinilai tak memiliki itikad baik, IDI Jember melaporkan akun itu ke polisi dengan dugaan melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Alfi mengatakan, pandemi Covid 19 telah merenggut banyak korban. Harusnya masyarakat bersatu melawan virus tersebut. “Harus kompak mengatasi pandemi ini. Jangan memperkeruh suasana dengan membuat kami yang berusaha capek hati,” jelasnya.

Sementara itu kabar berbeda datang dari Makassar Sulawesi Selatan. Warga dari tiga Kecamatan di Kota Makassar,Sulawesi Selatan, menolak rapid test corona dari tim gugus tugas Covid 19. Video penolakan yang menjadi viral di media sosial itu terjadi di Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan Tallo, dan Kecamatan Bontoala.

Dalam video tersebut, warga melakukan blokade jalan dan membuat spanduk bertuliskan penolakan. Warga menggunakan meja kayu dan batang bambu untuk menghalangi petugas masuk ke pemukiman. Ketua RW 5, Rafiuddin Kasude, menyampaikan tidak ada satupun kasus positif corona di lingkungan mereka.

Sehingga, mereka protes digelar rapid test corona secara massal. "Mereka menganggap rakyat dibisnisi dengan corona. Tidak ada data corona, di sini zona hijau," ujarnya, dikutip dari YouTube , Senin (8/6/2020). Selain itu, mereka juga khawatir pada akurasi proses rapid test yang selama ini dilakukan.

"Warga menolak untuk di rapid test karena selama ini aman aman saja di sini," tegas dia. Rafiuddin mengungkapkan, warga dari kecamatan lain juga menolak adanya rapid test corona massal. Ia pun mengimbau warga di lingkungannya untuk bersikap santai karena tak ada kasus positif corona sebelumnya.

Ketua RW ini kembali menegaskan, daerah tempat tinggalnya aman dan terkendali dari penyebaran Covid 19. "Di pasar tadi ada (rapid test), tapi mereka menolak semua," ungkapnya. "Saya sudah mengimbau, kita santai saja, rileks saja, karena kita pada zona hijau, aman dan terkendali di sini," imbuh Rafiuddin.

Namun, Rafiuddin tetap mengajak warganya untukmengenakanmasker saat beraktivitas. Dikutip dari , Sabtu (6/6/2020), warga tak percaya dengan alat rapid test corona. "Iya tadi warga sini menolak rapid test dengan alasan kita tidak percaya terhadap alat tersebut dan virus corona," ujar warga yang tak mau disebutkan namanya itu.

Warga lainnya, Lungga menyebut, warga menolak karena kurangnya informasi dan sosialisasi dari pemerintah. "Sebelumnya memang sudah ada info dari mulut ke mulut katanya mau ada rapid test." "Tapi kabarnya mendadak jadi warga juga kaget dan menolak," ungkap dia.

Dirinya mengaku sudah pernah menerima sosialisasi terkait pandemi virus corona, namun masih kurang. "Saya berharap agar pemerintah baik itu dari kecamatan hingga RT bisa memberikan atau mensosialisasikan." "Serta memberikan pemahaman terus terkait virus corona maupun kegunaan rapid test dan swab," jelas dia.